Kamis, 27 November 2008

Take off dilempar, Landing Tanpa Rem


take off-landing dari geladak kapal berbeda denga take-off landing dari landasan di permukaan tanah datar. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan karakter landasan. Lendasan pada kapal induk selalu bergerak, serta pendek dan sempit. Sementara itu landasan di tanah datar tidak pernah berpinda tempat, serta lebar dan panjang.

Kapal induk modern bisa berlayar pada kecepatan 30-40 knots, artinya kecepatan angin yang bertiup diatas geladak kapal hampir sama dengan kecepatan pesawat baling-baling F-4B yang melaju dengan kecepatan 50 knots. Jadi, untuk tinggal landas, pilot tinggal memacu pesawatnya menentang arah angin sehingga roda pesawat cepat terangkat.

Masalah jadi berubah ketika para ahli perang berniat mengusung jet tempur ke atas geladak. Jet tempur memiliki karakteristik yang berbeda. Umumnya jet tempur membutuhkan kecepatan yang sangat tinggi, diatas 150 knot. Dengan segala kemampuannya, sulit bagi jet tempur untuk mencapai kecepatan tinggal landasnya itu dalam jarak tidak lebih dari 100 meter. Untuk itu dibutuhkan sebuah alat yang berfungsi untuk mempercepat akselerasi pesawat. Alat ini dikenal sebagai ketapel.

Sebetulnya system ketapel sudah dikembangkan sejak perang dunia. Ketika itu telah pula diterapkan pada pesawat berbaling-baling. Hanya saja ketika itu teknologinya masih sangat sederhana.pada masa awal perkembangannya, ketapel ketapel kapal induk diuji dengan dart, torpedo bomber yang ngetop pada tahun 1952.

Pada perkembangannya, system ketapel model rel ini dinilai kurang efisien karena untuk menerbangkan sebuah pesawat saja memerlukan waktu yang lama. Akibatnya berkembang ketapel model baru yang antara lain dikembangkan oleh AL AS. Sistem baru ini menempatkan alat pelontar diatas geladak. Dan system ini berkembang menjadi ketapel bertenaga hidrolik.


Pada kapal induk USS Nimitz, perangkat pelontar dari jenis C-13 yang mampu melontarkan pesawat seberat 40 ton dari posisi diam ke kecepatan 300 km/jam hnya dalam waktu 2 detik. Dalam teknologi yang baru ini, pada siang hari awak geladak bisa melontarkan dua pesawat setiap setengah sampai satu menit. Pada malam hari satu pesawat setiap satu menit.

Landing Tanpa Rem

Sama halnya dengan tinggal landas, proses pendaratan di kapal induk pun membutuhkan keterampilan ekstra hebat. Selain kerena landasan yang selalu bergerak, juga karena landasan yang pendek dan sempit. Dan semua pilot kapal induk sepakat kalau pendaratan menjadi fase tersulit dalam penerbangan. Prosedurnya sungguh berbeda dengan pendaratan di tanah lapang. Di pendaratan ini terbentang kabel penahan dan pengerem laju pesawat. Untuk itu sang pilot musti mempunyai skill yang sangat luar biasa.

Saat mendaratkan pesawatnya, pilot harus bisa menyangkutkan pengait pada pantat pesawatnya ke salah satu dari empat kabel penahan. Kabel penahan ini terbentang dari kiri ke kanan kabel pendarat. Tingginya dari permukaan hanya 30 cm. bentang pertama berada 40 meter dari ujung belakang kapal. Jarak antar kabel 5-10 meter tergantung jenis kapal. Artinya kotak pendarat pada kapal induk hanya sejauh 25-50 meter.

Kotak pendarat yang amat pendek jelas menuntut prosedur pendaratan yang amat berbeda dengan mendarat di tanah lapang. Bila di tanah lapang, kecepatan boleh dibuat serendah mungkin, mendarat di kapal induk kecepatan pesawat dijaga agar tetap tinggi. Minimal diatas kecepatan stall atau setinggi kecepatan pada saat tinggal landas. Pada pesawat F-18 Hornet sekitar 150-160 knot.

Uniknya, setelah roda menyentuh permukaan dan hook terkait pada salah satu kabel, bukan rem yang diinjak, melainkan membuka throttle selebar mungkin. Mengapa ? bila saja pengait pada pesawat gagal menyangkut pada salah satu penahan, pesawatpun bisa langsung terbang lagi. Makanya pesawat pada kapal induk dibuat khusus dengan kemampuan airframe dan kaki-kaki yang amat kuat. Karena kedua bagian inilah yang amat menentukan pada saat mendarat


Amfibi Pengusung Pesawat

Paska perang dunia II kebutuhan kapal induk tak hanya dirasakan oleh armada AL saja. Marinir AS juga membutuhkan kapal ini. Apalagi sebagai kekuatan inti pendaratan pantai (amfibi). Mereka menganut taktik perang terintegrasi, artinya selain pasukan dan kapal pendarat, armada juga membutuhkan bantuan udara.

Berbekal taktik tadi maka pada era 70-an muncul varian kapal induk serang amfibi, atau sering diberi kode LH. Secara teknis desainnya sangat berbeda dengan super carrier. Secara fisik kapal ini mempunyai dimensi lebih kecil dari super carrier.

Pada kapal induk amfibi tidak dijumpa ketapel pelontar. Pada dek kapal ini hanya nongkrong wahana udara yang bisa tinggal landas dan mendarat secara vertical. Pesawat dengan kemampuan Vertical take off and landing macam sea Harrier tak membutuhkan pelontar untuk terbang.

Bila bagian perut kapal dibongkar maka akan tampak kelebihan kapal induk amfibi daripada kapal induk biasa. Sebut saja pasukan mariner berjumlah dua batalyon yang bisa diusungnya. Lalu sejumlah hovercraft pendarat.



Biar tambah lengkap maka kapal induk amfibi juga mempunya kemampuan menggotong kendaraan tempur lapis baja. Mulai ranpur angkut personel berpenggerak rantai LVTP-7 hingga MBT ( Main Battle Tank ) M1 Abrams.




Kelas Wasp

Kapal induk amfibi AS Kelas Wasp adalah kapal induk amfibi terbesar yang ada sekarang. Pertama kali masuk dinas operasional pada tahun 80-an, kapal ini langsung memancing perhatian AL AS.penyebabnya tak lain adalah kapasitas angkut yang lebih besar. Diatas deknya bisa bertengger selusin heli CH-46 Sea Knight, 4 heli CH-53 Stallion, setengah skadron AV-8B Harrier, 3 heli Huey, dan 4 heli tempur AH-1W Super Cobra. Saat ini AS mengoperasikan 7 unit kapal jenis ini.


Data teknis :

Operasional : kapal pertama, USS Wasp (LHD-1), 29 Juli 1989.

Bobot : rata-rata diatas 40.000 ton

Dimensi : panjang 253.2 meter; lebar 31,8 meter

Kecepatan : diatas 20 knot

Persenjataan : pesawat 29 unit; dua unit rudal sea sparrow,CIWS, Phalanx, serta beberapa kanon caliber 25 mm dan senapan mesin berat caliber 12,7mm.

Awak : 1108 orang ( diluar pasukan )